Saya bukan pemilih makanan, tapi saya juga bukan pemakan segala.Saya bisa saja makan lahap cuma dengan telor ceplok dan kecap, tapi saya bisa lebih memilih nggak makan karena makanannya nggak saya suka.
Nggak sukanya bisa macem2, karena bahan dasarnya, karena bentuknya, karena potongan orang yang memasaknya, karena warnanya, bisa juga karena suhunya alias makanan yang sudah dingin.
Kalo ada prinsip hukum 'substance over form', buat saya, prinsip itu tidak berlaku, karena substance dan form sama2 mempengaruhi nafsu makan saya. Banyak yang bilang, saya kurus-kering, langsing, tipis, dan lain sebagainya. Saya sih santai aja, karena setau saya, dari dulu memang badan saya begini-begini aja. :D
Sampai saya menikah dan kakak (baca : suami) protes ketika tau badan saya yang 'sebenarnya'. Beliau bilang, kurus banget, tulang semua. Alhasil, kakak pun menargetkan saya naik berat badan sampe jadi 50 kg, padahal menjelang nikah, BB saya cuma 39 kg. Saya pun protes dengan bilang bahwa lambung saya kecil. Itu nyata, karena setiap makan banyak, saya pasti langsung mual sampe muntah karena memang nggak masuk ke perut.
Kakak bilang, "lambung kita itu kayak balon, elastis. Kalo dibiasain makan banyak, lama2 kapasitasnya juga bakal besar." Saya cuma manggut-manggut. Tapi kakak nggak main2. Setiap makan, saya selalu ditunggui dan diawasi (lebay).
2-3 minggu setelah menikah, nafsu makan saya memang meningkat. Sampe akhirnya kami tau bahwa saya hamil. Alhamdulillah bisa makan banyak, meskipun sering mual dan hipersaliva (produksi air liur meningkat).
Sekarang hampir genap 4 bulan calon anak kami. Awal hamil, saya masih makan sesukanya. Yang penting kenyang dan mulut saya nerima. Sekarang saya memperbaiki jenis makanan saya. Setiap hari harus ada sayur dan buah. Susu juga harus dipaksakan. Jajanan ber-MSG dikurangi.
Beginilah ternyata perjuangan menjadi IBU. Ego harus ditekan, bahkan sejak sebelum sang dedek lahir.
Bahwa ada kehidupan lain yang harus diperjuangkan, ada tubuh lain yang harus diperhatikan, ada masa depan lain yang harus diusahakan.
Cinta yang tumbuh jauuuh sebelum bertemu. :)
Nggak sukanya bisa macem2, karena bahan dasarnya, karena bentuknya, karena potongan orang yang memasaknya, karena warnanya, bisa juga karena suhunya alias makanan yang sudah dingin.
Kalo ada prinsip hukum 'substance over form', buat saya, prinsip itu tidak berlaku, karena substance dan form sama2 mempengaruhi nafsu makan saya. Banyak yang bilang, saya kurus-kering, langsing, tipis, dan lain sebagainya. Saya sih santai aja, karena setau saya, dari dulu memang badan saya begini-begini aja. :D
Sampai saya menikah dan kakak (baca : suami) protes ketika tau badan saya yang 'sebenarnya'. Beliau bilang, kurus banget, tulang semua. Alhasil, kakak pun menargetkan saya naik berat badan sampe jadi 50 kg, padahal menjelang nikah, BB saya cuma 39 kg. Saya pun protes dengan bilang bahwa lambung saya kecil. Itu nyata, karena setiap makan banyak, saya pasti langsung mual sampe muntah karena memang nggak masuk ke perut.
Kakak bilang, "lambung kita itu kayak balon, elastis. Kalo dibiasain makan banyak, lama2 kapasitasnya juga bakal besar." Saya cuma manggut-manggut. Tapi kakak nggak main2. Setiap makan, saya selalu ditunggui dan diawasi (lebay).
2-3 minggu setelah menikah, nafsu makan saya memang meningkat. Sampe akhirnya kami tau bahwa saya hamil. Alhamdulillah bisa makan banyak, meskipun sering mual dan hipersaliva (produksi air liur meningkat).
Sekarang hampir genap 4 bulan calon anak kami. Awal hamil, saya masih makan sesukanya. Yang penting kenyang dan mulut saya nerima. Sekarang saya memperbaiki jenis makanan saya. Setiap hari harus ada sayur dan buah. Susu juga harus dipaksakan. Jajanan ber-MSG dikurangi.
Beginilah ternyata perjuangan menjadi IBU. Ego harus ditekan, bahkan sejak sebelum sang dedek lahir.
Bahwa ada kehidupan lain yang harus diperjuangkan, ada tubuh lain yang harus diperhatikan, ada masa depan lain yang harus diusahakan.
Cinta yang tumbuh jauuuh sebelum bertemu. :)
 |
| http://www.bamz.us/2012/09/makanan-sehat.html |
