Dulu jaman kuliah, saya ga pernah ngerasain euforia mudik massal pas libur menjelang hari raya, karena libur di kampus selalu jauh lebih awal dan selesai lebih akhir dari biasanya. Ga ngerasain deh yang namanya keabisan tiket atau macet di jalanan. Kerja pun (alhamdulillah) penempatan di kota yang sama dengan orang tua, jadi ga pernah juga pake cuti atau long weekend buat mudik ke rumah.
Time goes...
Saya menikah. Mertua saya ga berdomisili di kota Palembang, jadi kami punya kesempatan untuk ngerasain 'mudik'. Sejak menikah bulan September 2012 lalu, ini baru kali kedua saya berkunjung ke rumah mertua. Perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih 10 jam menggunakan transportasi darat, menciptakan keterbatasan saya untuk kesana. Kondisi hamil jelas ga memungkinkan buat saya menempuh perjalanan jauh dengan kondisi jalan yang jelek banget. Setelah punya anak, saya dan suami harus memikirkan kenyamanan dan kesehatan Rafsanjani untuk dibawa sejauh itu. Alhamdulillah, keluarga suami mengerti. Mertua dan kakak-ayuk iparlah yang bergantian menjenguk kami disini.
Kali pertama kami mudik, umur Rafs 4 bulan. Waktu itu kami berencana merayakan Idul Adha disana sekaligus syukuran kelahiran Rafs. Kami mudik mengajak kedua orang tua dan adek saya, jadi banyak yang bantuin ngurus dan jaga Rafs selama di jalan dan di rumah mertua. Untuk mudik kali ini, kami pergi berlima : saya, suami, Rafs, pengasuh Rafs (yang memang 1 dusun dengan suami), dan keponakan (yang sekolah di Palembang). Lebih berasa deg2annya karena harus bisa mengurus semuanya tanpa bantuan mama.
Sebenernya, rencana mudik ini sudah ada sejak Idul Fitri. Karena satu dan lain hal, akhirnya mudik kami tunda dan baru terlaksana di akhir Desember ini.
Dusun suami saya namanya Tanjung Kurung. Sesuai namanya, secara geografis, dusun ini 'terkurung' oleh perbukitan dan sungai. Karena berada di 'jalan buntu', kondisi dusun menjadi statis, tidak berkembang. Kalo sudah masuk ke gerbang dusun, kita seperti terpisah dari dunia luar. Sinyal HP ga ada sama sekali, televisi bisa ditonton hanya jika menggunakan parabola (itupun saluran tertentu saja), dan listrik yang lebih sering padamnya. Kalo suami lagi mudik sendirian, 3 hari disana, 3 hari pula saya ga bisa berkomunikasi dengan beliau. :)
Karena itu, saya pun melakukan banyak persiapan, terutama yang berhubungan dengan semua keperluan Rafs. Mulai dari diapers, mainan, cemilan, lauk, bahkan kelambu, semua dibawa dari Palembang. Bawaan kami segambreng untuk mudik yang hanya 4 hari, dimana 2 harinya dipake untuk perjalanan. Tak apalah, toh bawa mobil sendiri juga.
Hari yang dinanti, 25 Desember 2014, kami berangkat pukul 05.20, terlambat 20 menit dari rencana semula. Saya sudah packing dari 2 hari sebelumnya supaya malem sebelum berangkat, semua barang sudah bisa masuk ke dalam mobil. Belajar dari pengalaman mudik pertama, dimana malemnya kami begadang untuk packing, dan baru dimasukkan ke dalam mobil pada pagi harinya, ternyata lebih melelahkan dan membuang waktu. Apalagi kali ini suami akan nyetir sendirian, ga ada pengganti, jadi fisik harus dalam kondisi prima (yaelaahh..).
Perjalanan berjalan lancar pada awalnya. Setelah kira2 setengah jam, mulai keliatan penumpukan kendaraan. Oh noooo.. jalan Palembang-Indralaya macet, yang katanya bisa stuck berjam-jam ga jalan sama sekali. Cobaan deh, padahal baru juga jalan dikit. Saya menghibur suami dengan bilang, "gapapa, nikmatin aja, kan jarang-jarang mudiknya". Walopun dalam hati ketar-ketir juga secara bawa anak kecil dan suami ga bisa gantian nyetir, khawatir kelelahan sebelum nyampe ke dusun. Ditengah kemacetan, tiba2 ada sekelompok pemuda lokal yang menawarkan kami untuk masuk ke pemukiman warga. Suami masih ragu, soalnya sepengetahuan beliau menjelajah Kabupaten Ogan Ilir (wilayah kerja beliau sebelumnya), jalur Palembang-Indralaya cuma satu itu. Apalagi waktu ditanya nembusnya kemana, si pengarah jalan keliatan bingung. Tapi saya positive thinking aja dengan ngeliat banyaknya mobil yang masuk ke jalan itu, minimal kesasarnya ga sendirian. Akhirnya, kamipun konvoi dengan kendaraan lain masuk ke jalan tersebut.
Perjalanan berjalan lancar pada awalnya. Setelah kira2 setengah jam, mulai keliatan penumpukan kendaraan. Oh noooo.. jalan Palembang-Indralaya macet, yang katanya bisa stuck berjam-jam ga jalan sama sekali. Cobaan deh, padahal baru juga jalan dikit. Saya menghibur suami dengan bilang, "gapapa, nikmatin aja, kan jarang-jarang mudiknya". Walopun dalam hati ketar-ketir juga secara bawa anak kecil dan suami ga bisa gantian nyetir, khawatir kelelahan sebelum nyampe ke dusun. Ditengah kemacetan, tiba2 ada sekelompok pemuda lokal yang menawarkan kami untuk masuk ke pemukiman warga. Suami masih ragu, soalnya sepengetahuan beliau menjelajah Kabupaten Ogan Ilir (wilayah kerja beliau sebelumnya), jalur Palembang-Indralaya cuma satu itu. Apalagi waktu ditanya nembusnya kemana, si pengarah jalan keliatan bingung. Tapi saya positive thinking aja dengan ngeliat banyaknya mobil yang masuk ke jalan itu, minimal kesasarnya ga sendirian. Akhirnya, kamipun konvoi dengan kendaraan lain masuk ke jalan tersebut.
pemandangan di jalan 'pintas' Palembang-Indralaya, diambil dari mobil |
Baru jalan 10 menitan, suami yang masih ragu kemudian melambaikan tangan untuk nyetop mobil dari arah berlawanan. Setelah bersisian, suami langsung nanya ke pengemudi mobil itu dijawab dengan "Palem Raya", sebuah nama perumahan yang sudah familiar buat suami. Kamipun mantap melanjutkan perjalanan melalui jalan itu. Hampir 2 jam kami melewati jalan kecil di tengah sawah dan pemukiman, harus berhenti setiap berpapasan dengan mobil lain karena jalannya ga muat, sampai akhirnya keliatan juga si jalan besar di Indralaya. Alhamdulillah. Kami langsung mampir ke SPBU untuk istirahat. Waktu ngantri masuk ke kamar mandi, saya nguping ibu2 yang lagi cerita soal macetnya jalan, dan ada satu ibu yang sudah berangkat dari jam 03.00 subuh, baru nyampe Indralaya jam 08.00 melalui jalur normal, bukan yang dialihkan seperti kami. Alhamdulillah, berarti ga salah ngambil keputusan tadi. :)
bobok aja kerjaannya nii.. :* |
..to be continued..