"Ih, pengen deh kayak si A dan B, mesra bangett loh.."
"kok tau??"
"emang kamu nggak baca twitternya?"
"Si C sama si D itu pasangan kompak.."
"oiya? pernah ketemu dimana?"
"liat aja status atau wall2annya."
-__-
Kalau saja indikator kemesraan dan keakraban sebuah pasangan adalah kemunculannya di social media, maka saya dan suami akan masuk layer bawah dalam pemeringkatan pasangan termesra dan terakrab.
Suami saya bukan orang yang gaptek, tapi juga bukan peminat gadget. Gadget yang dia punya adalah handphone nokia model agak lama (entah seri berapa) yang jelas bisa opera mini dan senter, komputer tablet merk smartfren dan blackberry curve 3 G yang baterenya sudah saya ambil alih. Kalo online, situs yg dibuka adalah detik.com, vivanews, BBC, dan lain2, yang jelas semuanya berita. Nggak pernah sengaja online cuma buat update status. Akun twitter yang dia punya pun cuma follow dua orang, saya dan kantor kami :).
Jadi, mana pernah dia nge-wall saya, "Love you, sayang.." atau ngetweet, "lagi berduaan sama cintaku @RiyaAdril"
Teruuuusss... kami jadi nggak masuk kategori mesra? hehehe. Sempit sekali pemikirannya.
Rasanya hampir 24 jam kami menghabiskan waktu bersama, walau tidak selalu di ruangan yang sama. Kalo mau saya post semua tweet tentang kebersamaan kami, mungkin follower saya bakal langsung unfollow karena tweet2 saya memenuhi timeline mereka. :D
Tidak ada yang tau bahwa inbox hp saya penuh dengan hujanan kata2 sayang dari suami. Itu private, dan tak semua orang mesti tau. Ditambah belaian ketika ketemu lampu merah (karena suami saya nyetir), lalu panggilan dia yang lemah lembut, itu lebih bermakna, jauh lebih bermakna ketimbang kicauan di twitter atau facebook.
Social media adalah media untuk bersosialisasi, itu menurut saya. Sering terhenyak membaca tweet2 para ustadz mengenai kehati2an dalam ber-socmed, karena sedikiiit saja, mungkin muncul rasa sombong atau ingin pamer ketika kita 'berkicau'.
Ada yang bilang juga, "buat manas2in, biar yang lain juga pada nikah". Saya sih nggak kepikir gimana caranya, karena ketika saya belum menikah (saya tidak pernah menjalin hubungan dengan nama apapun dan dengan siapapun kecuali setelah khitbah, satu bulan sebelum pernikahan), saya kok sama sekali nggak terpancing dengan tweet2 atau postingan2 bernada 'kompor'. Maksud saya, ketika membaca tweet2 begitu, langsung pengen nikah. Nggak deh ya...
Buat saya, itu bukan cara untuk memahamkan orang lain bahwa pernikahan harus disegerakan. Toh, saya yakin, yang belum menikah itu bukan semata2 tidak mau, tapi karena memang jodohnya belum datang. Dan saya jauuuuh lebih menghargai mereka yang menjaga diri untuk tidak membuka hubungan apapun sebelum ijab-qabul ketimbang gembar-gembor pernikahan yang sakinah, mawaddah, warohmah, dengan embel2 tweet "alhamdulillaaah, tinggal seminggu lagi yaa @namacalonsuami".
Hanya pendapat saja, akibat gemes ngeliat temen2 yang menyalahartikan fungsi socmed.
Setelah menikah, saya mulai paham, bahwa romantisme pasangan itu tercipta dari hubungan antar dua orang tersebut, dari tatapan mata, belaian, sentuhan lembut, kata2 mesra, dan lain-lain. Dan saya tidak melihat adanya 'penumpahan perasaan' kepada pasangan di socmed sebagai salah satu indikator tinggi-rendahnya romantisme sebuah pasangan. Karena saya dan suami tidak pernah melakukan itu, tetapi saya merasa kami cukup romantis untuk dibandingkan dengan edward cullen dan bella swan.
Sekali lagi, hanya pendapat saja.
"kok tau??"
"emang kamu nggak baca twitternya?"
"Si C sama si D itu pasangan kompak.."
"oiya? pernah ketemu dimana?"
"liat aja status atau wall2annya."
-__-
Kalau saja indikator kemesraan dan keakraban sebuah pasangan adalah kemunculannya di social media, maka saya dan suami akan masuk layer bawah dalam pemeringkatan pasangan termesra dan terakrab.
Suami saya bukan orang yang gaptek, tapi juga bukan peminat gadget. Gadget yang dia punya adalah handphone nokia model agak lama (entah seri berapa) yang jelas bisa opera mini dan senter, komputer tablet merk smartfren dan blackberry curve 3 G yang baterenya sudah saya ambil alih. Kalo online, situs yg dibuka adalah detik.com, vivanews, BBC, dan lain2, yang jelas semuanya berita. Nggak pernah sengaja online cuma buat update status. Akun twitter yang dia punya pun cuma follow dua orang, saya dan kantor kami :).
Jadi, mana pernah dia nge-wall saya, "Love you, sayang.." atau ngetweet, "lagi berduaan sama cintaku @RiyaAdril"
Teruuuusss... kami jadi nggak masuk kategori mesra? hehehe. Sempit sekali pemikirannya.
Rasanya hampir 24 jam kami menghabiskan waktu bersama, walau tidak selalu di ruangan yang sama. Kalo mau saya post semua tweet tentang kebersamaan kami, mungkin follower saya bakal langsung unfollow karena tweet2 saya memenuhi timeline mereka. :D
Tidak ada yang tau bahwa inbox hp saya penuh dengan hujanan kata2 sayang dari suami. Itu private, dan tak semua orang mesti tau. Ditambah belaian ketika ketemu lampu merah (karena suami saya nyetir), lalu panggilan dia yang lemah lembut, itu lebih bermakna, jauh lebih bermakna ketimbang kicauan di twitter atau facebook.
Social media adalah media untuk bersosialisasi, itu menurut saya. Sering terhenyak membaca tweet2 para ustadz mengenai kehati2an dalam ber-socmed, karena sedikiiit saja, mungkin muncul rasa sombong atau ingin pamer ketika kita 'berkicau'.
Ada yang bilang juga, "buat manas2in, biar yang lain juga pada nikah". Saya sih nggak kepikir gimana caranya, karena ketika saya belum menikah (saya tidak pernah menjalin hubungan dengan nama apapun dan dengan siapapun kecuali setelah khitbah, satu bulan sebelum pernikahan), saya kok sama sekali nggak terpancing dengan tweet2 atau postingan2 bernada 'kompor'. Maksud saya, ketika membaca tweet2 begitu, langsung pengen nikah. Nggak deh ya...
Buat saya, itu bukan cara untuk memahamkan orang lain bahwa pernikahan harus disegerakan. Toh, saya yakin, yang belum menikah itu bukan semata2 tidak mau, tapi karena memang jodohnya belum datang. Dan saya jauuuuh lebih menghargai mereka yang menjaga diri untuk tidak membuka hubungan apapun sebelum ijab-qabul ketimbang gembar-gembor pernikahan yang sakinah, mawaddah, warohmah, dengan embel2 tweet "alhamdulillaaah, tinggal seminggu lagi yaa @namacalonsuami".
Hanya pendapat saja, akibat gemes ngeliat temen2 yang menyalahartikan fungsi socmed.
Setelah menikah, saya mulai paham, bahwa romantisme pasangan itu tercipta dari hubungan antar dua orang tersebut, dari tatapan mata, belaian, sentuhan lembut, kata2 mesra, dan lain-lain. Dan saya tidak melihat adanya 'penumpahan perasaan' kepada pasangan di socmed sebagai salah satu indikator tinggi-rendahnya romantisme sebuah pasangan. Karena saya dan suami tidak pernah melakukan itu, tetapi saya merasa kami cukup romantis untuk dibandingkan dengan edward cullen dan bella swan.
Sekali lagi, hanya pendapat saja.