Rafsanjani,
putra pertama kami, yang Dia titipkan dalam rahim saya hanya dalam hitungan
hari sejak kami menikah, dan lahir dalam usia 37 minggu, saat usia pernikahan
kami bahkan belum genap 9 bulan. Saat pasangan lain menikmati bulan madu ke
tempat-tempat wisata di bulan-bulan pertama pernikahan, saya sudah berjuang
melawan rasa mual. Saat-saat yang melelahkan, tapi sangat membahagiakan.
Saya
mencintainya, bahkan sebelum bertemu dengannya. Rasa cinta yang memaksa saya
untuk makan lebih banyak dan bergizi, istirahat lebih lama, serta menjaga diri
lebih hati-hati ketika hamil. Dan saat dokter mengatakan Rafsanjani sudah harus
dilahirkan, saya langsung setuju dengan segala tindakan dokter terhadap saya.
Yang saya pikirkan saat itu hanyalah Rafsanjani lahir dengan selamat.
Saya
mencintainya, dengan cara yang mungkin berbeda dari orang tua lain. Saya
meyakinkan diri memberi ASI Eksklusif sebagai uang muka dalam berinvestasi
untuk kesehatan fisik dan mentalnya. Dengan jam kerja 07.30-17.00, saya memaksa
untuk tidak menyerah memberikan yang terbaik untuk Rafsanjani, salah satunya
dengan ASI Eksklusif. Saya juga harus pasang muka tebal saat keluarga,
tetangga, atau teman underestimate
terhadap kemampuan saya memberikan ASI Eksklusif. Namun, melihat
perkembangannya sampai sekarang, rasanya semua terbayar lunas.
Saya
mencintainya, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Saat melihat mata
cokelatnya menari lincah dan bibirnya tersenyum, saya selalu bertekad untuk
mempertahankan senyum itu diwajahnya. Rafsanjani harus memiliki tempat tinggal
dan pakaian yang layak, pendidikan yang tinggi, makanan yang bergizi, dan
fasilitas yang memadai. Saya akan bekerja keras agar semua itu terwujud.
Saya
mencintainya, menyebut namanya dalam setiap doa, mengingat wajahnya dalam
setiap aktivitas, membayangkan tingkahnya dalam setiap helaan nafas. Saya
berjanji akan mendidiknya dengan baik, membimbingnya untuk selalu dekat dengan
Sang Pencipta, dan mengajarinya nilai-nilai kebaikan. Pinta saya kepadaNYA
supaya Rafsanjani selalu dilindungi dan kelak akan menjadi rahmat bagi semesta
alam. Diatas itu semua, cita-cita utama saya adalah bisa berkumpul dengannya di
surga yang maha indah.
Saya menghentikan hobi jalan-jalan keluar kota yang dulu setahun bisa lima kali saya lakukan. Saya mengajukan drop out dari kampus idaman saya, dan pindah ke kampus lain yang lebih fleksibel waktu belajarnya. Saya tidur lebih akhir dan bangun lebih pagi, padahal kurang tidur adalah pantangan utama dari dokter buat saya. Semua ‘pengorbanan’ itu tidak ada apa-apa jika dibandingkan dengan Rafsanjani yang tumbuh sehat dan pintar sampai saat ini. Itulah cinta yang saya punya untuk Rafsanjani. Cinta seorang ibu, yang banyak diabadikan orang melalui lagu. Cinta yang tak terdefinisikan, namun bisa memaksa saya untuk melakukan hal yang dulu terlihat mustahil, bahkan hanya untuk dibayangkan. Cinta yang sesungguhnya, ingin selalu memberi tanpa pernah berharap balasan dari yang dicintai.
Note : Blogpost ini adalah pesan cinta untuk putra saya, Rafsanjani, yang saya tulis untuk mengikuti lomba di www.cintakeluarga.org @ailaindonesia . Meskipun ga menang, cinta saya untuk Rafsanjani jauuuh lebih dalam daripada tulisan ini :).
No comments:
Post a Comment