Friday, 6 February 2015

Catatan Perjalanan - Mudik #3_Tanjung Kurung

Memandang alam dari atas bukit,
Sejauh pandang kulepaskan
Sungai nampak berliku
sawah hijau terbentang
Bagai permadani di kaki langit
Gunung menjulang,
berpayung awan,
Oh.. indah pemandangan

(Memandang Alam)


Dusun suami saya bernama Tanjung Kurung. Untuk ukuran saya yang tinggal di kota yang serba ada dan serba mudah, dusun suami saya bisa dikategorikan terpencil. Dusun ini cuma berisi kurang lebih 1000 warga, dengan mayoritas bekerja sebagai petani. Bahkan, guru SD disana pun, masih bertani sepulang ngajar di sekolah. Bahasa yang digunakan di dusun adalah bahasa daya, bahasa yang jauh beda dengan bahasa Palembang apalagi bahasa Indonesia. Waktu pertama kali kenalan dengan keluarga suami, saya kaget karena ga ngerti sama sekali bahasanya. Sekarang sudah 2 tahun menikah, sudah ngertilah dikit2. Hehe.

jalan menuju kebun tempat mertua biasa bertani
Sesuai namanya, dusun ini terkurung oleh perbukitan dan sungai. Untuk bisa mencapai rumah mertua, kami harus menyeberangi jembatan gantung, mobil ditinggal di seberang. Jangan ditanya sinyal, segaris pun tak ada. Kalo mau nelpon, harus jalan keluar dusun, ke tempat yang agak tinggi. Tak ada pasar, warung makan apalagi, hanya ada warung keperluan sehari2 dengan jenis barang yang tak banyak.

jembatan gantung (tampak belakang)
jembatan gantung (tampak depan)



















 
Suami saya sering bercerita tentang masa kecilnya (lulus SD, beliau sudah merantau ke Palembang sampe sekarang), yang menurut saya mirip2 sama cerita Laskar Pelangi. Dulu saya pikir, sekolah kayak Laskar Pelangi itu cuma ada di film (meskipun diambil dari kisah nyata), tapi setelah denger cerita suami, saya percaya memang ada yg begitu.

Dusun yang cuma punya satu SD, dimana gurunya bergantian mengajar. Kelasnya pun bergantian karena keterbatasan lokal dan guru. Suami suka nunggu diluar kelas memperhatikan kakak kelasnya belajar, kemudian dia akan ikut menjawab pertanyaan2 gurunya padahal kakak2 kelasnya ga bisa jawab. Ada guru dari 'kota' yang pintar dan memang mendidik, kreatif mengajarkan keterampilan tangan atau mengajak membaca buku cerita. Ada juga guru yang masih 'kampungan', memperlakukan anak muridnya sesuai hubungan kekerabatan si guru dan orang tuanya. Temen sekelas yang hanya hitungan jari-satu-tangan yang melanjutkan sekolah ke SMP, sisanya?? ada yang ikut bertani, ada yang tinggal dirumah jagain adek2nya, dan ada yang menikah :). 

SD Negeri Tanjung Kurung
Pulang sekolah, suami dan teman2nya akan bermain di hutan atau mandi di sungai, sembari menunggu para orang tua yang belum kembali dari kebun. Malamnya, orang2 akan berkumpul di rumah Kepala Desa untuk menonton TV karena itulah satu2nya TV di dusun tersebut. Biasanya akan ada keributan kecil karena Bapak2 yang mau nonton berita rebutan dengan anak2 yang mau nonton film pendekar atau film anak2. Trus, kemana2 kalo malem harus bawa senter karena ga ada penerangan di sepanjang jalan di dusun (yang ini masih sampe sekarang).

Hari Jumat, semua kegiatan di pagi hari akan berkurang dari hari biasanya. Mobil angkutan yang ke kota setiap hari, akan libur di hari Jumat. Kenapa? Karena ada solat Jumat. Mereka khawatir akan terburu2 atau malah ga sempet ikut solat Jumat di dusun kalo tetap berangkat ke kota.

Bertamu ke tetangga pun ada aturannya. Kalo tamu laki2, masuk melalui pintu depan. Tetapi kalo tamu perempuan, masuk dari pintu belakang. Tamu laki2 yang masuk lewat pintu belakang akan dianggap genit, dan tamu perempuan yang masuk lewat pintu depan dianggap lancang. Oiya satu lagi, ada kebiasaan bertamu ke rumah orang yang anggota keluarganya baru datang dari kota, seperti kami. Waktu pertama kali kesana, rumah mertua saya rame didatengin tamu yang mau ketemu saya, bahkan sampe malem banget :').

Ada kebiasaan disana yang bikin kagum : kekeluargaan dan kepedulian yang masih begitu kental. Ceritanya, beberapa bulan setelah kami menikah, ada salah satu warga dusun yang dirujuk ke rumah sakit di Palembang karena penyakit kanker. Menurut cerita suami saya, keputusan mengirim beliau ke Palembang adalah hasil musyawarah seluruh warga dusun. Semua biaya ditanggung bersama, termasuk orang2 yang menemani ke Palembang pun dipilih oleh warga dusun.

Disana ga ada polisi, ga ada hakim atau jaksa, semua masalah diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, kemudian setiap orang akan patuh terhadap apapun keputusan yang diambil. :)


Masih banyak cerita tentang dusun ini, insyaAlloh dilanjut di lain hari. ^^



semacam tugu di alun-alun :)

di kebon kami, investasi untuk Rafs kuliah ^^

main di sungai (kecil)

 _(masih) bersambung_


No comments:

Post a Comment